Gelombang panas yang terjadi di India dan Pakistan (sumber : reuters.com)
Sejak Juni 2018, sejumlah wilayah di beberapa belahan dunia mengalami suhu panas yang luar biasa atau yang biasa disebut gelombang panas. Kenaikan suhu yang luar biasa ini menyebabkan kebakaran hutan, menghancurkan tanaman pangan, hingga merenggut ratusan nyawa. Bahkan di Tokyo Jepang, gelombang panas mematikan ini telah menelan 77 jiwa dan 30 ribu warga lainnya dilarikan ke rumah sakit, dikutip dari CNN Indonesia (24/07/2018).
Tak hanya di Jepang, gelombang panas yang dahsyat juga terjadi di Kanada, Inggris, dan Irlandia. Indonesia harus siap-siap untuk menghadapi bencana tersebut. Dalam laman Deutsche Welle (DW) menyebutkan bahwa Indonesia diyakini akan menghadapi lebih dari 300 gelombang panas setiap tahunnya. Hal ini juga akan dialami negara lain seperti Filipina, Brazil, Venezuela, Sri Lanka, India, Australia, dna Nigeria.
Dasar waduk menjadi retak-retak akibat kekeringan saat gelombang panas (sumber : www.liputan6.com)
Dikutip dari liputan6.com (23/04/2018), terkait ramalan gelombang panas mematikan tersebut, Kepala Bagian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membantahnya dan menilai kabar tersebut terlalu bombastis. Adapun kondisi terik yang dirasakan masyarakat akhir-akhir ini dianggap sebagai akibat dari transisi musim penghujan ke musim kemarau yang terlalu cepat.
Gelombang panas menyebabkan banyak ternak mati di Afrika (sumber: fuelincluded.com)
Gelombang panas yang terjadi di beberapa belahan dunia ini diakibatkan oleh peningkatan emisi gas karbondioksida (CO2). Menurut Mike McGeehin, Direktur Program Bahaya Lingkungan dan Efek Kesehatan CDC Amerika Serikat, gelombang panas ini meyebabkan peningkatan suhu tubuh yang sangat cepat.
Gelombang panas mematikan yang terjadi di Jepang (sumber: japantimes.co.jp)
Tubuh akan memerlukan energi ekstra untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi lingkungan tersebut. Namun, pada suhu lingkungan yang sangat tinggi, tubuh akan menjadi kewalahan sehingga menyebabkan kelelahan yang berlebihan. Selain itu, kondisi ini juga menyebabkan gangguan sistem saraf dan sistem peredaran darah, kram otot, ruam-ruam, bahkan bisa berujung pada kematian.
Untuk mencegah bencana ini terjadi, manusia harus segera bertindak. Caranya yakni dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca atau karbondioksida seminimum mungkin. Dalam penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Nature Climate Change, Ilmuwan Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Seikat (NASA) menyebutkan bahwa pengurangan emisi karbondioksida dalam jangka waktu pendek ini dapat menyelamatkan 153 juta jiwa di seluruh dunia.